SOSOK


Kamis, 19 Mei 2011
Daftar pemain sepak bola legendaris Indonesia

Daftar Pemain Sepak bola Legendaris Indonesia adalah penghargaan yang diberikan oleh penyelenggara final Copa Indonesia Djie Sam Soe pada bulan April 2007 sebagai apresiasi kepada seluruh pemain sepak bola Indonesia yang telah tampil membela Indonesia baik di kompetisi nasional, regional maupun internasional.

Daftar Pemain Sepak bola Legendaris Indonesia versi Copa Indonesia April 2007

Nama Posisi Karier Timnas Julukan Catatan
Maulwi Saelan Kiper 1951 - 1958 Benteng Beton Makasar
Yudo Hadianto Kiper 1961 - 1974 Papi Solo
Yuswardi Bek Kanan 1967 - 1974 Ajo
Simson Rumahpasal Bek Kanan 1975 - 1982 Palang Pintu
Yohanes Auri Bek Kiri 1975 - 1985 Black Silent
Didik Darmadi Bek Kiri 1978 - 1986
Anwar Ujang Stopper 1965 - 1978 Beckenbauer Cikampek - Karawang
Robby Darwis Stopper 1985 - 1997 Irung Bandung
Ronny Pattinasarany Libero 1970 - 1982 Si Kurus Ambon/Makasar
Herry Kiswanto Libero 1985 - 1993 Akang Aceh
Iswadi Idris Gelandang 1968 - 1980 Si Bos/Boncel Aceh
Junaedi Abdillah Gelandang 1968 - 1983 Pet
Zulkarnaen Lubis Gelandang 1983 - 1986 Maradona
Rully Nere Gelandang 1977 - 1989 Jean Tigana Papua
Nobon Kayamudin Gelandang 1971 - 1979 Biang Kerok
Surya Lesmana Gelandang 1963 - 1972 Jango Jakarta Balaraja-Tangerang
M. Basri Gelandang 1962 - 1973 Teta
Thio Him Tjiang Gelandang 1951 - 1958
Risdianto Penyerang 1971 - 1981 Gayeng
Bambang Nurdiansyah Penyerang 1979 - 1986 Gerd Muller Banjarmasin
Ricky Yacobi Penyerang 1982 - 1993 Paul Marinir Medan
Widodo C. Putra Penyerang 1991 - 1996 Cilacap
Ramang Penyerang 1952 - 1962 Makasar


Yudo Hadianto

Yudo Hadianto (lahir di Solo, Jawa Tengah, 19 September 1941; umur 69 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia[1] era 1960-an dan 1970-an. Pada masanya ia sempat diakui sebagi kiper terbaik Asia[2]. Selain itu ia pernah kuliah di Fakultas Ekonomi UI periode 1960-1963 tetapi tidak selesai.

Karier
Klub
Persis Solo (1958)
UMS (1959 - 1968)
Mahesa (1968 - 1969)
Pardedetex Medan (1969 - 1971)
Persija (juara 1966, 1970, 1974)
Persegi Bali F.C. (1980-1985)

Tim Nasional (1961-1976)
Juara Merdeka Games 1962, 1969, 1974 di Kuala Lumpur, Malaysia
Juara King's Cup 1968 di Bangkok, Thailand
Juara Aga Khan Cup 1970 di Bangladesh
Juara Korea President's Cup 1971,1972 di Seoul, Korea

Pekerjaan
Pertamina (1971-1997)
Manajer GOR Simprug (1997-2003)
Manajer timas futsal (2003 - )
Pemilik klub futsal anak-anak Biangbola (2003 - )

Referensi
^ Penghargaan 22 Pemain Legendaris Indonesia - April 3rd, 2007, Bola Indo Wordpress, 3 April 2007
^ Yudo Hadianto Salah Satu Kiper Terbaik Asia, Kompas, 30 Maret 2003


Anwar Ujang
Anwar Ujang (lahir di Cikampek, Karawang, Jawa Barat, 2 Maret 1945; umur 66 tahun) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia di era 1970-an dan 1980-an dari Klub Persika Karawang.

Karier
Sebelum menjadi pemain sepak bola sempat menjadi karyawan Pertamina pada tahun 1960[1]. Pemain dengan nomor punggung 5 ini pertama kali bergabung dengan PSSI pada April 1965 dan menjadi Kapten PSSI pada tahun 1971 - 1974[2]. Pada masa jayanya, ia sering dijuluki Beckenbauer Indonesia dan bersama tim Indonesia sering melakukan pertandingan-pertandingan melawan tim dari Eropa dan Asia.

Pemain
1960: Pesat, Cikampek dan Bond Persika, Krawang
1965: Maesa, Persija dan PSSI
1969: Pardedetex dan PSMS
1970. Bintang Utara, Medan

Rujukan
^ Tim Pra Olimpik Indonesia 1972, Tempo, diakses 10 Januari 2009
^ Menolak Pesta Penyambutan, Tempo, diakses 10 Januari 2009


Robby Darwis
Robby Darwis (lahir di Bandung, Jawa Barat, 30 Oktober 1964) adalah seorang pemain sepak bola legendaris Indonesia [1] yang terkenal pada tahun 1990-an dan merupakan salah satu bintang Persib Bandung pada era tersebut.

Ia berposisi sebagai stoper (bek tengah). Pada musim pertama Liga Indonesia, ia membawa Persib menjadi juara sebagai kapten tim. Darwis pernah pula bermain di Liga Malaysia, memperkuat Kelantan FC. Di tim nasional Indonesia (1987-1997), ia tampil sebanyak 53 kali dan mencetak 6 gol.

Di Liga Indonesia 2007 Robby Darwis menjadi asisten pelatih Persib (Arcan Iurie), dan cuti dari pekerjaan sebelumnya yaitu sebagai bankir di BNI 1946.

Robby menjadi pelatih sementara Persib menggantikan Jaya Hartono yang mundur.

Karier
Pemain
Persib Bandung
Tempo Utama
Tunas Inti
Kelantan FC
Persikab Bandung
Persikabo Bogor

Pelatih
Pro Duta Bandung
Persib Bandung (Asisten Pelatih)
Persib Bandung (pelatih)

Referensi
^ Penghargaan 22 Pemain Legendaris Indonesia - April 3rd, 2007, Bola Indo Wordpress, 3 April 2007


Ronny Pattinasarani

Ronald Hermanus Pattinasarany atau lebih dikenal dengan nama Ronny Pattinasarany (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Februari 1949 – meninggal di Jakarta, 19 September 2008 pada umur 59 tahun[1]) adalah pelatih sepak bola Indonesia dan salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia[2].
Ronny meninggal dunia pada Jumat-19 September 2008, pukul 13:30 WIB, dalam usia 59 tahun, akibat kanker hati yang dideritanya sejak Desember 2007. Ronny pergi meninggalkan seorang istri, Stella Pattinasarany, dan 3 anak: Benny, Yerry, dan Cita yang mendampinginya sampai saat-saat terakhir di Rumah Sakit Omni Medical Center, Pulo Mas, Jakarta Timur.

Karier
Era 1970-an hingga 1980-an, saat sepak bola Indonesia menjadi salah satu raksasa di Asia, Ronny Pattinasary menjadi salah satu yang ikut melambungkan nama tim merah-putih. Pria berdarah Ambon yang lahir di Makassar itu dikenal sebagai sosok pemain papan atas.
Penghargaan yang diperolehnya seperti Pemain All Star Asia tahun 1982, Olahragawan Terbaik Nasional tahun 1976 dan 1981, Pemain Terbaik Galatama tahun 1979 dan 1980, dan meraih Medali Perak SEA Games 1979 dan 1981.
Perjalanan kariernya sebagai pemain bola dimulai bersama PSM Junior pada tahun 1966. Dua tahun kemudian berhasil menembus level senior tim PSM Makassar. Dari Makassar, Ronny hengkang ke klub Galatama, Warna Agung, yang dibelanya dari tahun 1978 hingga 1982. Di sinilah kariernya mulai menanjak sehingga dia pun terpilih masuk dan menjadi kapten timnas. Tahun 1982, Ronny hengkang ke klub Tunas Inti. Hanya setahun di sana, dia pun memutuskan untuk gantung sepatu dan beralih profesi sebagai pelatih.

Pelatih
Ada beberapa klub yang pernah merasakan sentuhan tangannya, yakni Persiba Balikpapan, Krama Yudha Tiga Berlian, Persita Tangerang, Petrokimia Gresik, Makassar Utama, Persitara Jakarta Utara dan Persija Jakarta. Namun prestasi terbaik yang pernah ditorehkan Ronny adalah ketika menangani Petrokimia Putra saat sukses mempersembahkan beberapa trofi bagi klub tersebut yang saat ini sudah bubar dan melebur dalam Gresik United (GU). Ronny membawa Petrokimia meraih Juara Surya Cup, Petro Cup, dan runner-up Tugu Muda Cup.

Lain-lain
Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI 2006
Wakil Ketua Komdis 2006
Tim Monitoring Timnas 2007

Prestasi
Pemain
Pemain Asia All Star (1982)
Olahragawan Terbaik Nasional (1976 dan 1981)
Pemain Terbaik Galatama (1979 dan 1980)
Medali Perak SEA Games (1979 dan 1981)

Pelatih
Petrokimia Juara Surya Cup
Petrokimia Juara Petro Cup
Petrokimia menjadi runner-up Tugu Muda Cup

Pranala luar
(Indonesia) Ronny Pattinasarany, Kapten yang Penuh Kasih
(Indonesia) Tidak Segan Melatih SSB
(Indonesia) Penggiat Olahraga yang Bergelut Melawan Dampak Narkoba (2-Habis) - Indopos
(Indonesia) - Kick Andy: Berebut Cinta dengan Bandar Narkoba

Referensi
^ Ronny Pattinasarani Tutup Usia - Berita di Okezone.Com
^ Penghargaan 22 Pemain Legendaris Indonesia - April 3rd, 2007, Bola Indo Wordpress, 3 April 2007


Herry Kiswanto
Herry Kiswanto (lahir di Banda Aceh, Aceh, 25 April 1955) adalah seorang pelatih sepak bola Indonesia dan salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia[1]. Posisinya di lapangan sebagai libero. Dalam kariernya ia hanya pernah mendapat sekali kartu kuning yaitu ketika membela Krama Yudha Tiga Berlian melawan Pelita Jaya di era Galatama[2].

Setelah sukses meloloskan klub Persmin Minahasa ke kompetisi Super Liga di musim 2007/2008 lalu, salah satu pemain legendaris yang biasa dipanggil Kang Herry ini, dikontrak oleh klub Persiraja Banda Aceh sebagai pelatih kepala di kompetisi Divisi Utama untuk musim 2008/2009.

Menyusul terjadinya krisis internal terkait masalah pendanaan di tubuh Persiraja Banda Aceh, yang juga menimpa banyak klub sepak bola lainnya di tanah air, sejak berakhirnya putaran pertama kompetisi Divisi Utama, ia memutuskan mundur dari Persiraja Banda Aceh dan langsung diikat kontrak untuk menangani klub Persikab Bandung menggantikan pelatih Deni Syamsuddin yang baru didepak dari tim yang bermarkas di kota Soreang, Kabupaten Bandung itu.

Karier
Pemain
Persib Bandung (1976-1979)
Pardedetex Medan (1979-1983)
Yanita Utama Bogor (1983-1984)
Krama Yudha Tiga Berlian (1985-1991)
Assyabaab Salim Grup (1991-1993)
Bandung Raya (1993-1996)
Tim Nasional (1979-1993)

Pelatih
Persija Jakarta (1996)
PSIS Semarang (2004)
Persikabo Bogor (2004)
PSS Sleman (2005)
Persmin Minahasa (2007)
Persiraja Banda Aceh (2008)
Persikab Bandung (2009)
Persiraja Banda Aceh (2010-sekarang)

Referensi
^ Penghargaan 22 Pemain Legendaris Indonesia - April 3rd, 2007, Bola Indo Wordpress, 3 April 2007
^ "Pangeran tanpa Kartu Kuning", Koran Tempo, April 2007


Iswadi Idris

 Iswadi Idris (lahir di Banda Aceh, Aceh, 18 Maret 1948 – meninggal di Jakarta, 11 Juli 2008 pada umur 60 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia [1]. Pemain yang dijuluki "Boncel" karena tubuhnya relatif pendek (tinggi 165 cm) ini termasuk pemain paling berbakat yang dimiliki Indonesia. Ia memperkuat timnas PSSI sebagai pemain gelandang pada era 1960-an dan 1970-an. Selama menjadi pemain, Bang Is, demikian ia akrab disapa, sangat menggemari nomor punggung 13.

Karier
Sebagai Pemain
Bersama dengan Sutjipto Soentoro, Abdul Kadir, dan Jacob Sihasale, dikenal dengan sebutan "kuartet tercepat di Asia" berkat kecepatan dan kelincahan mereka yang luar biasa. Iswadi juga terkenal sebagai pemain yang memiliki visi yang luas, disiplin, keras, dan berkarakter, baik di dalam maupun luar lapangan. Karena sosoknya tersebut, ia terpilih menjadi kapten timnas sejak awal 1970 sampai 1980. Tak hanya piawai di posisi gelandang, sejumlah posisi lainnya pun sempat ia lakoni selama membela timnas, mulai dari bek kanan hingga sweeper. Ia pun menjadi pelopor pemain serba bisa yang andal dalam berganti-ganti posisi sebelum diteruskan oleh Ronny Pattinasarani. Berkat kepiawaiannya tersebut Bang Is berhasil menjadi pemain Indonesia pertama yang dikontrak oleh klub asing yaitu Western Suburbs, Australia di tahun 1974-1975.

Sebagai Pelatih
Karier lainnya adalah sebagai pelatih. Ia pernah melatih tim Perkesa Mataram atau Mataram Putra, juga timnas nasional pra-Olimpiade 1988 bersama dengan M. Basri dan Abdul Kadir yang dikenal dengan sebutan "trio Basiska".

Sebagai Pengurus PSSI
Tahun 1994, Bang Is masuk ke dalam jajaran pengurus PSSI. Sejumlah jabatan pernah dipercayakan kepadanya mulai dari Direktur Kompetisi dan Turnamen PSSI, anggota Komisi Disiplin PSSI hingga Direktur Teknik PSSI. Terakhir ia menjabat sebagai Manajer Teknik Badan Tim Nasional serta tim monitoring bersama Risdianto dan Ronny Pattinasarani.

Akhir Hidup
Iswadi Idris terakhir berdomisili di Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta. Ia meninggal dunia di Jakarta, Jumat (11/7/2008) malam, sekitar pukul 20.00 WIB, akibat terserang stroke dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.

Perjalanan karier
MBFA (1957-1961)
IM Jakarta (1961-1968, 1970-1974)
Pardedetex (1968-1970)
Western Suburbs (1974-1975)
Jayakarta (1975-1981)
Persija (1966-1980)

Referensi
^ Penghargaan 22 Pemain Legendaris Indonesia - April 3rd, 2007, Bola Indo Wordpress, 3 April 2007

Pranala luar
(Indonesia) Indonesia - Record International Players - Appearances for Indonesian National Team - Iswadi Idris
(Indonesia) Iswadi Idris Meninggal Dunia, Okezone.com


Junaedi Abdillah
Junaedi Abdillah (lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 21 Februari 1948) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia.

Karier
Junaidi menimba ilmu sepak bola bersama klub Indonesia Muda. Dia juga pernah belajar di Diklat Salatiga pada 1960-an bersama Oyong Liza, Sartono Anwar dan Harsoyo. Dari Salatiga, Junaidi dan Oyong dipanggil masuk tim nasional junior. Di tim yang disebut PSSI B itu, mereka berhasil menjadi runner-up Kejuaraan Juior Asia 1967 di bawah Israel. Ketika itu, Federasi Sepak Bola Israel masih tergabung di zona Asia.

Keberhasilan itu mengantar Junaidi dan beberapa rekan lainnya seperti Oyong, Suaeb Rizal, Harsoyo, Abdul Kadir, Waskito dan Bob Permadi ke tim nasional senior atau PSSI A. Di tim ini, mereka bersaing dengan seniornya seperti Soetjipto Soentoro dan Jacob Sihasale. Junaidi juga pernah memperkuat Indonesia di kualifikasi Olimpiade Munich 1972 bersama dengan Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani[1].

Perjalanan Karier
1964: TC Salatiga
1966: Benteng, Surabaya
1967: PSSI dan Persebaya
1972: PSAD (Persatuan Sepak Bola Angkatan Darat)
1975: PSAL (Persatuan Sepak Bola Angkatan Laut)
1977: PSAU (Persatuan Sepak Bola Angkatan Udara)

Pranala luar
(Indonesia) Junaidi Abdillah Belum Pulih

Rujukan
^ Tim Pra Olimpik Indonesia 1972, Tempo, diakses 10 Januari 2009


Zulkarnaen Lubis
Zulkarnain Lubis (lahir di Binjai, Sumatera Utara, 21 Desember 1958) adalah salah seorang mantan pemain nasional sepak bola Indonesia dari klub PSMS Medan pada era 1970-an. Dia adalah pemain PSMS Medan (1979-1980) dan Mercu Buana Medan (1981-1982), sebelum memperkuat klub-klub elite di Pulau Jawa, di antaranya Yanita Utama Bogor.

Karier
Pada eranya ia sering dijuluki sebagai Maradona Indonesia karena ia sering beroperasi di lini tengah, gocekan dan umpan-umpan matang dari kaki Zulkarnaen membuat para penyerang depan seperti mendapat pelayanan kelas satu. Visi bermain bola yang tinggi membuat Zulkarnaen mampu membaca pergerakkan pemain belakang lawan sekaligus menentukan ke mana teman di lini depan harus bergerak. Singkatnya, aksi pemain yang pada masa jayanya memiliki ciri rambut gondrong ini memang sangat memikat.

Talenta itu juga yang membawa Zulkarnaen menghuni skuad timnas. Di tim Merah Putih, striker seperti Bambang Nurdiansyah, Dede Sulaiman dan Noah Meriem merasakan sekali matangnya umpan-umpan Zulkarnaen. SEA Games, Pra Piala Dunia, dan Asian Games adalah ajang-ajang internasional yang pernah diikuti Zulkarnaen.

Di level klub, pemain ini sempat mengecap prestasi puncak bersama Krama Yudha Tiga Berlian. Dua kali Zulkarnaen mengantarkan klub ini ke jenjang juara Kompetisi Galatama.

Pemain Liga
1970: PSKB Binjai
1978: Bintang Utama
1980: Mercu Buana
1983: Yanita Utama
1986: Krama Yudha Tiga Berlian
1989: Persegres Gresik
1990: Petrokimia Putra
1997: PSM Makassar
1999: PSD Darmawangsa

Tim Nasional
1983: Timnas SEA Games
1984: PSSI Garuda I
1985: Timnas SEA Games, PSSI Pratama, Timnas Pra Piala Dunia
1986: Timnas Asian Games, Seoul

Prestasi
1980: Runner-up Galatama (Mercu Buana)
1985: Juara Sub Grup 3 B PPD
1986: Semifinalis Asian Games
1987: Juara Galatama (Krama Yudha Tiga Berlian)
1988: Juara Galatama (Krama Yudha Tiga Berlian)

Pranala luar
(Indonesia) Anak Medan Itu Merindukan Kebun Bunga
(Indonesia) Zulkarnaen Lubis, Maradona Indonesia


Rully Nere
Rully Rudolf Nere (lahir di Papua, 13 Mei 1957) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia [1] . Ia pernah memperkuat timnas nasional beberapa kali pada periode tahun 1980-an. Dalam kompetisi liga, ia memperkuat Persipura Jayapura.

Saat ini ia adalah pelatih dari Pro Titan Football Club. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI periode 2003 - 2007. Sebelumnya ia pernah melatih PSPS Pekanbaru, Persiba Bantul, PS Palembang, dan PSSI U-20.

Mitchell Leandro Nere, anak dari Rully Nere sekarang bermain untuk Pro Titan dalam kompetisi Divisi Utama.

Referensi
^ Penghargaan 22 Pemain Legendaris Indonesia - April 3rd, 2007, Bola Indo Wordpress, 3 April 2007



Nobon Kayamudin
Nobon Kayamudin (karier 1971-1979) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia. Dia berposisi sebagai gelandang. Dia juga mendapat julukan Biang Kerok. Bermain di Divisi Satu adalah sejarah terburuk bagi salah satu tim pilar Liga Indonesia ini. Namun, di bawah tangan dingin pelatih Nobon Kayamudin, PSMS berhasil promosi ke Divisi Utama. Kendati membawa PSMS promosi, Nobon didepak oleh klub dan kemudian digantikan oleh pelatih Sutan Harhara.


Surya Lesmana
Liem Soei Liang alias Surya Lesmana (lahir di Balaraja, Tangerang, 20 Mei 1944) adalah seorang pemain sepak bola terkenal Indonesia di era tahun 1960an. Ia memperkuat tim nasional PSSI selama 10 tahun (1963-1972) dan Persija Jakarta selama 14 tahun (1962-1975). Ketika masa jayanya, Surya Lesmana dikenal sebagai gelandang jempolan yang memiliki kemampuan menyerang ataupun bertahan sama baiknya.

Surya Lesmana mengawali karier sepak bola di Klub Union Makes Strength (UMS) pada tahun 1958, seangkatan dengan Mulyadi (Tek Fong). Di bawah bimbingan pelatih Endang Witarsa (Lim Soen Joe) kemampuannya semakin terasah. Karena kemampuan individunya yang bagus, Ia kemudian diminta bergabung dengan Persija Jakarta pada tahun 1962 dan kemudian diminta memperkuat tim nasional pada tahun 1963. Namanya kian tersohor seiring dengan kariernya yang mulus dan menjadi pujaan banyak orang.

Surya Lesmana pensiun dari tim nasional pada tahun 1973. Namun namanya tak lantas hilang dari dunia sepak bola tanah air. Kepiawaiannya mengolah kulit bundar membuat klub-klub asing masih meliriknya. Surya mencatatkan diri sebagai salah satu pelopor pemain Indonesia yang merumput di luar negeri. Ia dikontrak sebagai pemain klub Mac Kinan Hongkong selama satu musim pada tahun 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan, jumlah yang cukup besar kala itu.

Kejayaan seringkali membuat orang menjadi lupa diri, demikian juga dengan Surya Lesmana. Pada masa keemasannya Ia tenggelam bersama kesenangan duniawi. Surya menghambur-hamburkan semua penghasilan yang diperoleh dari bermain bola. Pada massa tuanya, Ia hidup sebatang kara. Ia tidak memiliki rumah ataupun kendaraan dan tidak menikah. Bahkan Ia harus tinggal menumpang di rumah orang di Gang Kancil, kawasan Glodok, Jakarta Barat. Ia tinggal secara cuma-cuma karena jasanya mendidik anak pemilik rumah dan anak-anak di lingkungan sekitar dalam bermain bola. Surya tidak mau menyesali terus keadaannya saat ini. "Kita harus terima keadaan ini dengan lapang dada dan besar hati," ujarnya.

Surya masih tetap menggeluti sepak bola, dunia yang pernah melambungkan sekaligus menenggelamkan nasibnya. Ia masih bermain bola bersama para manusia lanjut usia di lapangan UMS. Rutinitas lain yang dilakoni lelaki ini adalah mengunjungi teman-teman lama seangkatannya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol dan bercerita mengenang masa lalu. Dengan alasan berolahraga, Ia berjalan kaki hingga belasan kilometer atau bahkan dua jam untuk sampai ke sana. "Saya sering jalan sampai ke Komdak, Slipi, atau Cempaka Putih. Tapi, kalau sudah siang, saya naik bus," ujarnya.

Sampai saat ini Surya bersama dengan Mulyadi menjadi pelatih di klub UMS di kawasan Petak Sin Kian, Mangga Besar. Anak keempat dari enam bersaudara ini tidak mempunyai pekerjaan lain. Setiap hari Surya menghabiskan waktunya mengawasi latihan anak-anak sekolah sepak bola dengan imbalan ala kadarnya. Meskipun harus menghadapi getirnya hidup di usia senja, Ia masih berharap pemerintah mau memperhatikan nasibnya.

Penghargaan
Pemain sepak bola legendaris Indonesia versi Copa Indonesia Dji Sam Soe

Prestasi
Juara Lion Cup 1970 di Singapura
Juara Kings Cup 1969 di Thailand
Juara Merdeka Games 1968 di Malaysia
Juara Aga Khan Gold Cup 1966 di Bangladesh
Juara Tiger Cup 2003 di Indonesia

Pranala luar
Penghargaan 22 pemain legendaris Indonesia
Tujuh mantan pemain timnas hidup pas-pasan


M. Basri
M. Basri (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 5 Oktober 1942) adalah mantan pemain sepak bola nasional Indonesia dan sekarang melatih beberapa klub sepak bola di Indonesia.

Karier
Sebagai pemain
Basri memulai kariernya di Klub MOS pada tahun 1961 dan dilanjutkan di klub Pardedetex dan HBS Surabaya.

Basri sempat membela timnas di Asian Games 1962. Pada saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga se-Asia. Selanjutnya, Basri terus tampil pada dua Asian Games berikutnya. Ia juga menjadi bagian timnas saat Indonesia turun di Ganefo.

Persebaya Surabaya adalah tim pertama yang diasuh Basri. Pada musim 1977, Basri berhasil mengantarkan Persebaya jadi juara Kompetisi Perserikatan. Usai memberikan prestasi puncak bagi Persebaya, Basri pindah ke Niac Mitra. Nampaknya Basri juga ingin menjajal kerasnya Kompetisi Galatama. Lagi-lagi keampuhan racikan Basri terbukti. Tiga kali Niac Mitra dibawa Basri jadi juara Galatama, masing-masing pada 1981, 1982, dan 1986.

Kenyang merasakan persaingan di era Kompetisi Perserikatan dan Galatama, karier Basri sebagai pelatih terus berlanjut saat sepak bola Indonesia memasuki fase Liga Indonesia. Sebagai putra derah, di awal Liga Indonesia bergulir, Basri sangat bangga bisa menukangi PSM Makassar. Nyaris saja Piala Presiden, lambang supremasi Liga Indonesia berhasil dipersembahkan Basri bagi tanah kelahirannya. Sayang, di final Liga Indonesia 1995/1996, PSM Makassar kalah 0-2 dari Mastrans Bandung Raya di final. PSM Makassar pun gagal jadi juara Liga Indonesia untuk kali pertama.

Selain PSM, di era Liga Indonesia, Basri juga pernah menangani Arema Malang, Persita Tangerang, dan terakhir Persela Lamongan di musim 2007. Kala menangani Persita di musim 2004, Basri mengajukan pengunduran diri dari posisi pelatih kepala. Hal ini dilakukan karena Persita menelan kekalahan beruntun.

Sebagai pelatih, Basri dikenal keras dan tegas. Ia selalu menegakkan disiplin tinggi pada tiap tim yang diasuhnya. Hingga kini, Basri bisa dikatakan sebagai pelatih lokal paling senior yang masih beredar di kancah sepak bola nasional Indonesia.

Pemain liga
1961: Klub MOS
1968: Pardedetex
1973: HBS Surabaya

Tim nasional
PSSI Asian Games 1962, 1966, 1970, 1974, 1982
PSSI Ganefo 1962
PSSI Pra Olimpiade 1968
Piala Asia Cup 1968
PSSI King's Cup 1969 (Juara), 1970 (Runner-up), 1971
PSSI Merdeka Games 1967, 1969 dan 1970 (Juara)
PSSI Pesta Sukan 1970 (Juara)
PSSI Pra Piala Dunia 1973

Pelatih
1977: Persebaya Surabaya
1979: PSSI Pratama
1980-1986: Niac Mitra
1983: Timnas Pra Olimpiade
1989: Timnas Pra Piala Dunia, Timnas SEA Games
1991-1993: Arema Malang
1994: Mitra Surabaya
1995-1997: PSM Makassar
2000: Arema Malang
2003: Persim Maros
2004: Persita Tangerang
2005: PSM Makassar
2007-2009: Persela Lamongan
2010-....: PSS Sleman

Prestasi kepelatihan
1977: Juara Kompetisi Perserikatan (Persebaya Surabaya)
1981: Juara Galatama (Niac Mitra)
1982: Juara Galatama (Niac Mitra)
1986: Juara Galatama (Niac Mitra)
1993: Juara Galatama (Arema Malang)
1996: Finalis Liga Indonesia (PSM Makassar)

Pranala luar
(Indonesia) M. Basri, Pelatih Lintas Zaman


Thio Him Tjiang
Thio Him Tjiang (lahir di Jakarta, 28 Agustus 1929) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia di era tahun 1950an. Ia merupakan atlet berprestasi hasil binaan Klub Union Makes Strength (UMS), salah satu klub sepak bola tertua di Indonesia dan klub yang tergabung dalam Persija Jakarta.

Thio Him Tjiang besar dan tumbuh dari keluarga pemain sepak bola. Ayahnya, Thio Kioe Sen, adalah pemain UMS. Thio Kioe Sen mempunyai tujuh anak, enam lelaki dan satu perempuan. Semua anak lelakinya; Thio Him Gwan, Thio Him Tjiang, Thio Him Toen, Thio Him Eng, Thio Him Boen, dan Thio Him Hok adalah pemain UMS. Namun di antara semuanya yang paling terkenal adalah Thio Him Tjiang.

Thio Him Tjiang dikenal sebagai orang yang mempunyai loyalitas tinggi. Ia tetap setia bermain untuk UMS walaupun pernah diminta untuk bermain di Klub Tjung Hwa (sekarang PS Tunas Jaya), musuh bebuyutan Klub UMS. Di bawah bimbingan pelatih Endang Witarsa (Lim Sun Yu), prestasi Thio Him Tjiang semakin bersinar. Ia bukan hanya berprestasi di UMS melainkan juga masuk menjadi pemain inti Persija dan tim nasional PSSI.

Tim nasional yang saat itu diperkuat oleh Ramang, Tan Liong Houw, Thio Him Tjiang, Phoa Sian Liong, Kwee Kiat Sek, Maulwi Saelan, Chaeruddin Siregar, dan Witarsa berhasil masuk perempat final Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia. Indonesia yang awalnya sempat menahan 0-0 tim tangguh Uni Soviet, akhirnya kalah 0-4 pada pertandingan yang dilanjutkan hari berikutnya. Uni Soviet akhirnya menjadi juara setelah di final mengalahkan Yugoslavia.

Thio Him Tjiang yang bermain sebagai gelandang, memperkuat Tim Merah Putih selama 8 tahun (1951-1958). Setelah pensiun sebagai pemain, Ia tidak mau melanjutkan karier sebagai pelatih sebagaimana teman-temannya yang lain. Thio Him Tjiang tetap memegang teguh prinsip: ingin dikenang sebagai pemain sepak bola saja bukan sebagai pelatih sepak bola.

Penghargaan
Pemain sepak bola legendaris Indonesia versi Copa Indonesia Dji Sam Soe

Pranala luar
(Indonesia) FIFA World Football
(Indonesia) Thio Him Tjiang: Setia Sampai Tua
(Indonesia) Seabad UMS dan Legenda Hidupnya
(Indonesia) Pemain Sepak Bola Indonesia di Olimpiade 1956
(Indonesia) THIO HIM TJIANG Yang Tersisa di Petak Sinkian


Risdianto
Risdianto (lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 3 Januari 1950; umur 61 tahun) adalah seorang mantan pemain nasioanl sepak bola Indonesia di era 1970-an dan 1980-an bersama Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani.

Karier
Pria yang akrab disapa Ris ini pada usia 14 tahun sudah memperkuat Persekap Pasuruan dan ikut membela tim sepak bola Pekan Olahraga Nasional Jawa Timur pada 1969. Setahun lewat, dia dipanggil masuk skuad tim nasional hingga 1981. Selama satu dekade, Ris malang melintang mewakili Indonesia ke sejumlah turnamen dan kejuaraan, termasuk SEA Games 1981, yang menghasilkan medali perunggu bersama antara lain Iswadi Idris, Abdul Kadir dan Hartono. Klub profesional pertamanya dia awali dengan bergabung bersama UMS Jakarta, yang dilatih Dr Endang Witarsa. Dari sana dia hijrah ke Persija. Karier klubnya banyak ia habiskan bersama Warna Agung selama 1978-1983.

Ris adalah pemain Indonesia pertama yang dikontrak selama satu musim oleh Mackinnons FC, salah satu tim Divisi Utama Hong Kong (1974-1975). Ia pemain sepak bola Indonesia kedua yang dipinang klub luar negeri, setelah Iswadi Idris. Dia meninggalkan Hong Kong untuk bergabung dengan tim nasional Pra-Olimpiade 1976, yang saat itu langkah tim nasional dihentikan Korea Utara lewat drama adu penalti.
Pranala luar
(Indonesia) Pasuruan dan Mata Hati Risdianto


Bambang Nurdiansyah

Bambang Nurdiansyah (lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 28 Desember 1958; umur 52 tahun) adalah seorang pelatih dan mantan pemain sepak bola legendaris Indonesia.[1] Mulai musim 2008 ia melatih Arema Malang di Liga Super Indonesia,[2] namun mengundurkan diri setelah baru menjalani 4 pertandingan karena merasa ditekan kelompok pendukung Arema, Aremania.[3] Ia kemudian melanjutkan musim 2008/09 dengan menjadi pelatih PSIS Semarang. Sebelumnya ia pernah melatih klub Pelita Krakatau Steel pada tahun 2006. Pada musim 2005 ia melatih di PSIS Semarang, namun pindah karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga. Selain itu, Bambang juga pernah melatih Persita Tangerang.

Di sela jeda Liga Indonesia musim 2005 dengan musim 2006, Bambang sempat ditunjuk oleh PSSI untuk melatih sementara Indonesia untuk pertandingan melawan Afrika Selatan dalam rangka ulang tahun Golongan Karya.

Ia juga pernah menjadi pelatih tim nasional sepak bola putri pada SEA Games XXII.

Sebelum menjadi pelatih, ia adalah seorang pemain sepak bola dan pernah memperkuat Pelita Jaya dan tim nasional Indonesia selama 11 tahun (1980-1991). Posisinya adalah penyerang (striker).

Referensi
^ Penghargaan 22 Pemain Legendaris Indonesia - 3 April 2007, Bola Indo Wordpress, 3 April 2007
^ Bambang Nurdiansyah Tangani Arema, Suara Merdeka, 9 Februari 2008
^ "Terus Ditekan Aremania, Bambang Nurdiansyah Tinggalkan Arema", Goal.com, 4 Agustus 2008



Ricky Yacob
Ricky Yacob (lahir di Medan, Sumatera Utara, 12 Maret 1963) adalah seorang pemain sepak bola legendaris Indonesia.[1]

Karier
Pemain
Masa keemasan Ricky Yacob terjadi pada paruh kedua dekade 1980-an. Karier sepak bolanya banyak dihabiskan bersama klub Arseto Solo. Selain itu ia pernah memperkuat PSMS Medan sewaktu merebut Piala Suratin. Ia selalu bersaing dengan Bambang Nurdiansyah (Krama Yudha/Pelita Jaya) untuk memperebutkan satu tempat di tim nasional. Kini, Ricky Yacob lebih dikenal dengan nama Ricky Yacobi.

Selama bermain di Indonesia, Ricky tidak pernah membawa klubnya menjadi juara (Galatama/Liga Indonesia). Namun, ia sempat dua kali turut mempersembahkan medali emas SEA Games pada tahun 1987.

Ricky sangat memesona penggila bola nasional dengan gayanya yang khas. Kurniawan Dwi Yulianto, salah satu penyerang terbnaik Indonesia yang bermain di era 1995-2005 sangat mengidolakannya. Ricky kerap dijuluki Paul Brietner Indonesia dan merupakan penyerang opurtunis yang mengandalkan kecepatan dalam bermain. Tampangnya yang lumayan ganteng dan rambutnya yang gondrong membuat Ricky begitu dikenal. Aksi puncakya terjadi di ajang Asian Games 1986 di Korea Selatan.

Ketika itu, tim nasional Indonesia hanya kalah 0-2 dari Arab Saudi dan bermain imbang 1-1 melawan Qatar. Tim Indonesia lalu menang 1-0 lawan Malaysia dan menang 4-3 (penalty) melawan Uni Emirat Arab (UEA). Ricky mengagetkan orang ketika ia mencetak gol sewaktu melawan UEA. Gol voli dengan tendangan langsung tanpa sempat menyentuh tanah, ia lesakan dari sisi kiri gawang UEA dalam jarak yang amat jauh.

Setelah itu, nama Ricky semakin beken setelah ia dibeli Klub Matsushita Jepang pada tahun 1988. Sayang, ia tak mampu beradaptasi dengan udara dingin di Jepang. Hanya empat pertandingan yang sempat ia ikuti—dengan satu gol sempat dicetak.

RSSSF hanya mencatat bahwa Ricky sempat 31 kali memperkuat tim nasional sepanjang enam tahun (9-12-1985 sampai 11-6-1991). Hanya lima gol yang sempat dicatat. Tapi, sepertinya, jumlah gol itu tidak akurat. Ricky setidaknya mencetak 15 gol untuk tim nasional Indonesia di ajang resmi.

Pelatih
Kini, Ricky Yacobi memutuskan menjadi pelatih dengan membuka Sekolah Sepak Bola (SSB) Ricky Yacobi yang berlokasi di lapangan F, kompleks Senayan, Jakarta Pusat. Murid pilihannya adalah talenta berbakat berusia 7-12 tahun yang kurang mampu. Karenanya Ricky menjamin, murid-muridnya bebas iuran.

Ricky yakin sekolah sepak bola yang memiliki kurikulum teori kelas dan praktik itu akan langgeng meski tanpa iuran murid. Pasalnya, sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Kelompok Pecinta Olahraga Sepak Bola Senayan (KPOSS) itu telah banyak menarik simpati donatur semisal American Express Foundation. Di samping itu, KPOSS telah menyewa lapangan F untuk jangka waktu lima tahun. Di PSSI, Ricky kemudian duduk menjadi direktur pembinaan usia muda PSSI.

Pranala luar
(Indonesia) Artikel Majalah MAINLY
Referensi
^ Penghargaan 22 Pemain Legendaris Indonesia - April 3rd, 2007, Bola Indo Wordpress, 3 April 2007


Widodo Cahyono Putro
Widodo Cahyono Putro (lahir di Cilacap, Jawa Tengah, 8 November 1970) adalah seorang pelatih dan pemain sepak bola legendaris Indonesia.[1] Posisinya saat bermain adalah penyerang. Widodo seangkatan dengan Rocky Putiray, Joko Susilo, dan Aji Santoso.

  
Karier Sebagai Pemain
Widodo mengawali sebagai pemain profesional di klub Galatama, Warna Agung (1990-1994). Bakatnya di temukan oleh Endang Witarsa. Setelah itu ia pindah ke Petrokimia Putra Gresik, hingga 1998. Di Klub inilah penampilan Widodo semakin meningkat dan ia menjadi bagian dari Tim nasional sepak bola Indonesia hingga ia meraih prestasi hasil dari tendangan saltonya saat melawan Kuwait yang dinobatkan sebagai gol terbaik Piala Asia 1996.[2] Setelah selama empat tahun ia pindah ke Persija Jakarta hingga 2002. Setelah dari Persija Jakarta ia kembali ke Petrokimia Putra Gresik hingga gantung sepatu dan menjadi seorang pelatih di klub tersebut.

Sebagai Pelatih
Sebagai Pelatih ia awali di klub lamanya Petrokimia Putra Gresik (2004), kemudian dua musim menjadi asisten pelatih di Persijap Jepara, Pada tahun 2006 itu juga hingga 2008 ia dipercaya BTN untuk menjadi asisten pelatih Tim nasional sepak bola Indonesia Pra Olimpiade, SEA Games dan Kualifikasi Piala Asia.[3] Pada 2009 ia dipercaya membesut tim Persela Lamongan menggantikan M. Basri.[4] Musim 2009-2010 putaran kedua posisinya digantikan oleh Djoko Susilo. Saat ini ia kembali dipercaya BTN untuk mendampingi Alfred Riedl bersama dengan Wolfgang Pikal dan Edi Harto di Piala Suzuki AFF 2010.[5][6]

Referensi
^ Penghargaan 22 Pemain Legendaris Indonesia - April 3rd, 2007, Bola Indo Wordpress, 3 April 2007
^ "Dibayangi Kontradiksi Sejarah"
^ http://www.aseanfootball.org/news_d.asp?id=66 "Sea Games Gold for Kolev"]
^ http://biangbola.com/berita/Widodo+Besut+Persela/20624.html
^ Endro Yuwanto. Widodo Jadi Asisten Alfred Riedl. Republika, 18 Mei 2010. Diakses pada 23 Desember 2010.
^ Djibril Muhammad. Pemain Timnas Indonesia Diminta Jaga Emosi. Republika, 22 Desember 2010. Diakses pada 23 Desember 2010.


Ramang

Ramang, di era 1960-an

Ramang (1928 - Makassar, 26 September 1987) adalah pemain sepak bola Indonesia dari PSM Makassar yang terkenal pada tahun 1950-an. Ia berposisi sebagai penyerang. Dia pernah mengantarkan PSM ke tangga juara pada era Perserikatan serta pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia.

Karier sebagai pemain
Awal karier
Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM. Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Ayahnya, Nyo'lo, ajudan Raja Gowa Djondjong Karaenta Lemamparang, sudah lama dikenal sebagai jagoan sepakraga. Bakat Ramang memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat Bond Barru, kota kelahirannya, namun menjelang proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Ujungpandang dan meninggalkan usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya.

Pekerjaan lain
Sambil melakoni profesinya sebagai pemain sepak bola, Ramang juga menjadi seorang kenek truk dan tukang becak. Namun dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo (7/10/1978), Ramang mengatakan bahwa ia terpaksa meninggalkan profesinya sebagai penarik becak karena sibuk bermain bola. Hal itu membuat kondisi keluarganya yang tinggal menumpang di sebuah rumah temannya menjadi sangat memprihatinkan. "Namun apapun yang terjadi, coba kalau isteri saya tidak teguh iman, mungkin sinting," kata macan bola itu. Ramang memang tak bisa lepas dari lapangan sepak bola. Baginya, meninggalkan lapangan sepak bola sama saja menaruh ikan di daratan. "Hanya bisa menggelepar-gelepar lalu mati," katanya.

Setahun setelah kemenangan klubnya 9-0 dalam kompetisi PSM, Ramang sudah keliling Indonesia bermain bola. Tapi ketika ia kembali ke Makassar seorang datang melamarnya bekerja sebagai opas di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Gajinya? Tak pernah naik tetap saja Rp 3.500. Untungnya hanya satu: ia masih tetap bisa main bola.

Karier di tim nasional sepak bola Indonesia
Pada tahun 1952 ia menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arlan mengikuti latihan di Jakarta. Ini menyeretnya menjadi pemain utama PSSI. Didampingi Suardi Arlan di kanan dan Nursalam di kiri, ia bagai kuda kepang di tengah gelanggang. Permainannya sebagai penyerang tengah sangat mengagumkan. Maka setahun kemudian ia keliling di beberapa negeri asing. Namanya meroket menjadi pemain favorit penonton dan disegani pemain lawan.

Pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol menyolok. Dari 25 gol (dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang.

Berkat prestasi Ramang, Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Jashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein. "Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan kawan-kawan," ujar Ramang merendah, sembari menyebut nama temannya satu per satu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sian Liong dan Djamiat.

Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memang penembak lihai, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang masih diidamkan oleh setiap pemain bola kita hingga saat ini, terutama tembakan salto. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai bekas pemain sepakraga yang ulung. Gol melalui tendangan salto yang indah dan mengejutkan seringkali dipertunjukkan oleh Ramang. Satu di antaranya saat PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.

Mendengar kehebatan Ramang di lapangan sepak bola, tak heran jika di tahun 50-an, banyak bayi lelaki yang lahir kemudian diberi nama Ramang oleh orangtuanya.

Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah media, ia menyebut ketika PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. "Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi kaus saya ditarik dari belakang," kata Ramang.

Akhir karier
Kejayaan Ramang ternyata singkat saja, tahun 1960, sesudah namanya sempat melangit ia dijatuhi skorsing. Ramang dituduh makan suap. Tahun 1962 ia dipanggil kembali, tapi pamornya sudah berkurang. Pada tahun 1968, dalam usia 40 tahun, Ramang bermain untuk terakhir kalinya membela kesebelasan PSM di Medan, yang berakhir dengan kekalahan. Meskipun setelah itu kariernya di sepak bola tidaklah betul-betul mati. Saat ia sedang menggelepar-gelepar seperti ikan di daratan, ia mendapatkan panggilan Bupati Blitar untuk menjadi pelatih di sana.

Karier kepelatihan
Karier kepelatihan Ramang juga tercatat di PSM dan Persipal Palu. Sewaktu menjadi pelatih di Persipal, ia bahkan pernah dihadiahi satu hektar kebun cengkeh oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di Indonesia. Penghargaan seperti ini tak pernah ia dapatkan di PSM Makassar. Tetapi menjadi pelatih sepak bola ternyata tidak mudah bagi seorang tamatan Sekolah Rakyat seperti Ramang. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang ia sangat hormati.

Ramang pernah menyebut bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih berharga dari kuda pacuan. "Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi," katanya dengan kecewa. Namun Ramang sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya itu. "Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?" katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga ia seringkali sengaja sembunyi hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan. Meski banyak dorongan dan tawaran buat menulis biografinya, ia selalu menggelengkan kepala. Dulu katanya, memang pernah ada seseorang yang menerbitkan riwayat hidupnya. Tapi ia sendiri sudah lupa judul buku dan nama penulisnya.

Meninggal dunia
Suatu malam di tahun 1981, sehabis melatih anak-anak PSM, Ramang pulang dengan pakaian basah dan membuatnya sakit. Enam tahun ia menderita sakit di paru-parunya tanpa bisa berobat ke Rumah sakit karena kekurangan biaya. Pada tanggal 26 September 1987, di usia 59 tahun, mantan pemain sepak bola legendaris itu meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang. Ramang dimakamkan di TPU Panaikang. Untuk mengenang jasanya, sebuah patung di lapangan Karebosi dibuat untuknya. Selain itu hingga sekarang salah satu julukan PSM Makassar adalah Pasukan Ramang.

Ironis memang mengetahui kisah hidup mantan bintang sepak bola itu. Apalagi Ramang kini hanya diapresiasi dengan sebuah patung yang dibuat seadanya, yang berdiri di pintu utara Lapangan Karebosi.

Pranala luar
(Indonesia) Biografi Ramang
wikipedia.



RAMANG - Legenda Sepakbola yang terlupakan

Ramang! Bersama timnya membela Indonesia di forum dunia dengan menahan raksasa beruang Rusia yang merupakan favorit juara di Olympiade Melbourne Australia 1965 silam. Siapakah Ramang? Seorang tukang becak yang lalu menjadi ikon persepakbolaan Indonesia karena semangat dan kegigihannya yang tetap ada dan hidup di tubuh PSM dan membuat kesebelasan ini dijuluki Pasukan Ramang.

Bakat Ramang bermain sepak bola menurun dari ayahnya, Nyo’lo, Ajudan raja Gowa Djondjong Karaenta Lemamparang yang dikenal sebagai jagoan sepak raga. Pada tahun 1947, melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan Sepakbola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia ditarik bergabung dengan PSM yang waktu itu bernama Makassar Voetbal Bond (MVB).

Selama setahun menjadi pemain PSM, Ramang sudah keliling Indonesia bermain bola. Pada tahun 1952, Ramang menjadi pemain utama PSSI karena kelihaiannya sebagai penyerang tengah dalam bertanding. Setahun menjadi anggota PSSI, Ramang sudah mengelilingi beberapa negeri asing. Pada lawatannya tahun 1954 ke beberapa negeri Asia seperti Filipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia makin menaikkan popularitas PSSI karena dari 25 gol, 19 di antaranya dicetak oleh Ramang.

Persepakbolaan Indonesia makin diperhitungkan di kancah Internasional. Tak hanya kesebelasan Asia yang pernah mengecap kekuatan PSSI namun satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Jashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein.

Salah satu ciri khas yang merupakan karunia alam bagi Ramang adalah tembakan saltonya yang fenomenal. Kemenangan PSSI dari kesebelasan RRC dengan skor 2-0 di Jakarta, lahir dari tendangan Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Tak peduli arah sasarannya darimana ataupun dalam keadaan yang sesulit apapun, Ramang yang dikenal sebagai penyerang haus gol tetap menendang dari segala posisi sambil berlari kencang demi mencetak gol.
Prestasi yang diraih oleh Ramang tak lantas membuatnya besar kepala, “itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan kawan-kawan,” ujar Ramang merendah, sembari menyebut nama temannya satu per satu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Witarsa, Him Tjiang, Danu, Tee San Liong dan Djamiat

Namun tahun 1960 karir Ramang dalam dunia persepakbolaan perlahan surut, ia dijatuhi skorsing karena dituduh makan suap. Dua tahun kemudian, ia dipanggil kembali namun tak dapat menyelamatkan pamornya yang telah terlanjur turun. Pada tahun 1968, dalam usia 40 tahun, Ramang bermain untuk terakhir kalinya membela kesebelasan PSM di Medan, yang berakhir dengan kekalahan.

Pertandingan Ramang yang berakhir dengan kekalahan tersebut tidak ikut mengakhiri karier Ramang di cabang olahraga ini. Tak lama setelah kejadian itu, ia mendapatkan panggilan Bupati Blitar untuk menjadi pelatih di sana.

Tak hanya menjadi pelatih di Blitar, karier kepelatihan Ramang juga tercatat di PSM dan Persipal Palu. Suatu penghargaan yang takkan pernah dilupakan oleh Ramang saat menjadi pelatih di Persipal Palu yaitu saat ia dihadiahi satu hektar kebun cengkeh oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di Indonesia. Ramang yang pernah menjadi seorang tukang becak dan kenek truk merasa tidak mudah menjadi pelatih sepak bola. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang ia sangat hormati.

Pada tanggal 26 September 1987, di usia 59 tahun, mantan pemain sepak bola legendaris itu meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang. Ironis memang mengetahui kisah hidup mantan bintang sepakbola itu. Ramang dimakamkan di pemakamam umum Panaikang. Untuk mengenang jasanya, sebuah patung di lapangan karebosi dibuat untuknya.
Sumber: Majalah Makassar Terkini edisi. Mei 07


About Me

gelangangolahraga
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.